2016/06/06

Formulasi Gugatan

Unknown


Formulasi Gugatan
Yang dimaksud dengan formulasi gugatan adalah perumusan (formulation) surat gugatan yang dianggap memenuhi syarat formil menurut ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[1] Memang benar, apa yang dikemukakan Prof Soepomo. Pada dasarnya Pasal 118 dan Pasal 120 HIR, tidak menetapkan syarat formulasi atau isi gugatan.[2] Akan tetapi, sesuai dengan perkembangan praktik, ada kecenderungan yang menuntut formulasi gugatan yang jelas fundamentum petendi (posita) dan petitum sesuai dengan sistem sesuai dengan sistem dagvaarding.[3]
11.     Ditunjukan (dialamatkan) kepada PN sesuai dengan kompetensi relative;
22.    Di beri tanggal;
33.    Ditandatangani penggugat atau kuasa;
a.       Tanda tangan di tulis dengan tangan sendiri;
b.      Cap jempol disamakan dengan tanda tangan berdasarkan St. 1919-776.
44.    Identitas para pihak;
a.       Nama lengkap;
1)      Nama terang dan lengkap, termasuk gelar atau alias (jika ada);
2)      Kekeliruan penyebutan nama yang serius;
3)      Penulisan nama tidak boleh didekati secara sempit atau kaku (strict law), tetapi harus dengan lentur (flexible);
4)      Penulisan nama perseroan harus lengkap dan jelas.
b.      Alamat atau tempat tinggal;
1)      Yang di maksud dengan alamat
Menurut hukum sesuai dengan tata tertib beracara, yang dimaksud dengan alamat, meliputi:
·         Alamat kediaman pokok,
·         Bisa juga alamat kediaman tambahan,
·         Atau tempat tinggal riil.
2)      Sumber keabsahan alamat;
3)      Perubahan alamat tergugat sesudah gugatan di ajukan;
4)      Tidak diketahui alamat tempat tinggal tergugat
c.       Penyebutan identitas lain, tidak imperatif.
55.     Fundamentum petendi
a.       Unsur pundamentum petendi
1)      Dasar hukum (rechtelijke grond);
2)      Dasar fakta (faitelijke grond).
b.      Dalil gugat yang dianggat tidak mempunyai dasar hukum;
1)      Pembebasan pemidanaan atas laporan tergugat, tidak dapat dijadikan dasar hukum menuntut ganti-rugi;
2)      Dalil gugatan berdasarkan perjanjian tidak halal;
3)      Gugatan tuntutan ganti rugi atas perbuatan melawan hukum (PMH).
4)      Dalil gugatan yang tidak berdasarkan sengketa, dianggap tidak mempunyai dasar hukum;
5)      Tuntutan ganti rugi atas sesuatu hasil yang tidak dirinci berdasarkan fakta di anggap gugatan tidak mempunyai dasar hukum;
6)      Dalil gugatan yang mengandung saling pertentangan;
7)      Hak atas Objek Gugatan tidak jelas.
66.     Petitum gugatan
a.       Bentuk petitum;
1)      Bentuk tunggal;
2)      Bentuk alternative.
b.      Berbagai petitum yang tidak memenuhi syarat;
c.       Sepintas penerapan petitum.
77.   Perumusan gugatan asesor (accesoir)


[1] M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika Offset, Cet. IX, 2009, hlm. 51.
[2] Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta : Pradnya Paramita, 1993, hlm. 24.
[3] M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata, hlm. 51.

RIBA

Unknown


Riba

A.   Pengertian
Riba secara bahasa adalah  tambahan harta atau kelebihan sedangkan secara istilah menurut para tokoh empat mazhab fikih ialah :
1.      Mazhab Hanafi
Riba adalah kelebihan harta, pada barang yang diperjual belikan dengan ukuran syara, meskipun dalam artian hukum dengan persyaratan tertentu yang diberlakukan kepada salah satu dari kedua belah pihak dalan transaksi barter.
2.      Mazhab Syafi’i
Transaksi pertukaran suatu barang tertentu yang diukur dengan takaran syara dengan barang lain yang belum ada ketika terjadi akad.
3.      Mazhab Hanbali
Riba adalah tambahan,tenggang waktu, dan persyaratan tertentu, semuanya diharamkan oleh syara[1].
4.      Mazhab Maliki
Kelebihan pada takaran atau timbanagan, baik dengan penundaan penyerahan barang barter tersebut yang waktunya diketahui secara pasti ataupun yang masih meragukan.[2]
Riba secara bahasa adalah tambahan, maksudnya tambahan atas modal pokok yang menjadi lebih sedikit atau lebih banyak[3]. Atau dapat pula di artikan tambahan atas utang.
Adapun secara syar’i adalah  tambahan pada salah satu barang barter yang sejenis, tanpa ada kompensasi yang menjadi imbalan tambahan tersebut.[4]
شرعا : مقا بلة عوض بآخر مجهول التماثل في ممعيار الشرع حالة العقد أو مع تأخير في العوضين أو احدحما[5]
Menerima pembayaran yang tidak diketahui secara timbangan menurut syara ketika akad, atau dengan memilih dua pembayaran atau salah satunya.
Dan adapun pengertian lain, bahwa riba adalah tambahan atas hutang
B.   Tahapan Dasar Hukum Pengharaman
Keharaman riba ini dapat dijumpai dalam ayat-ayaat al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah SAW.  Di dalam al-Quran, menurut al-Maragi, mufasir dari mesir, proses keharaman riba disyariatkan Allah secara bertahap, yaitu :
Tahap pertama, Allah menunjukan bahwa riba itu bersifat negatif pernyatan ini disampaikan Allah dalam surat al-Rum (30) : 39 yang berbunyi ;

وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ.....
“dan suatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada pada sisi Allah...”
ayat ini merupakan ayat pertama yang berbicara tentang riba, yang menurut para mufasir ayat ini termasuk ayat makiyah (ayat-ayat yang diturunkan pada periode mekah). Akan tetapi, para ulama mufasir sepakat menyatakan bahwa ayat ini tidak berbicara tentang riba yang diharamkan. Al-Qurtubi, mufasir, menyatakan bahwa ibn Abbas mengartikan riba dalam ayat ini adalah “hadiah” yang dilakukan orang-orang yang mengharapkan imbalan berlebih. Menurutnya, riba dalam ayat ini termasuk riba mubah
tahap kedua, Allah telah memberi isyarat akan keharaman riba melalui kecaman terhadap praktik riba dikalangan masyarakat yahudi, hal ini disampaikan Allah dalam surat An-Nisa (4) :161 yang berbunyi :
وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (161)
“dan disebabkan mereka makan riba, padahal sesungguhnya mereka telah melarang dari padanya. Dan karena mereka memakan harta orang lain denga jalan yang batil, kami telah neyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
Ayat ini, termasuk kelompok ayat madaniyah (yang diturunkanpada priode madinah)
Tahap ketiga, Allah mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu yang bersifat berlipat ganda dengan larangan yang tegas. Hal ini disampaikan olah Allah dalam surat Al-Imran (3) 130 yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً....
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda....



Tahap terakhir, Allah mengharamkan riba secara total dengan segala bentuknya. Hal ini disampaikan melalui firman-Nya dalam surat Al-Baqarah (2) 275, 276, 278
Pernyataan al-Quran tentang larangan riba terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 275, 276, 276, dan 278, dalam ayat 275  Allah menyatakan bahwa jual beli sangat berbeda dengan riba, dalam ayat 276 Allah menyatakan memusnahkan riba, dan dalam ayat 278 Allah memerintahkan untuk meninggalkan segala bentuk riba yang masih ada. Keharaman riba total ini, menurut para pakat fiqh berkisar pada akgir abad ke delapan atau abad kesembilan hijrah.
Alasan keharaman riba dalam sunnah rasulullah daintaranya :
عن جا بر رضى الله عنه: لعن رسو لالله ص.م. اكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه. وقال: هو سواء(رواه مسلم)
“ Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberi makan riba, penulis dan saksi riba”. [6]


[1]Bahauti, kassyaf al-qana, vol. III
[2] Lihat catatan kaki al-adawi pada syarh al-Kharsyi dalam buku Mukhtasar, karangan khalil
[3]Al-Faifi Sulaiman Ahmad Yahya, ringkasan FIQIH SUNNAH SAYID SABIQ, jakartan : Daarul Fath Lil I’lamil Arabi 2013, hlm. 785
[4] Prof. Dr. Abdul Aziz Mabruk al-Ahmadi, dkk, Fikih Muyassar, Jakarta : Darul Haq, 2015, hlm. 359.
[5] اشيخ محمد بن قا سم الغزي,  شرح فتح القريب المجيب, جاكرتا: دار الكتب الاسلاميه, صفحة: 70
[6] Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Jabir. Baca al-Shun’ani, Subulus Salam, Juz III, hlm. 36; Shahih al-Muslim, kitab al-masyaqqat, nomor Hadis 2995.